Salib Kasih, Siatas Barita Tarutung
Salib Kasih, Siatas Barita adalah sebuah tempat wisata rohani yang dibuat untuk mengenang jasa missionaris agama Kristen yang berasal dari Jerman DR.Ingwer Ludwig Nommensen (hampir dibunuh di sana karena menyebarkan agama Kristen) memulai missinya di tanah Batak, dan merupakan tempat DR.IL Nommensen untuk memandang ke arah Rura Silindung dibawahnya.
Salib Kasih ini terletak di Dolok (Bukit) Siatas Barita, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara
Gambar Salib Kasih
Pemandian Air Soda Tarutung
Pemandian Air Soda yang ada di daerah Parbubu Tarutung adalah pemandian air soda satu-satunya yang ada di Indonesia. Pemandian ini sudah dikelola dan dikembangkan sejak tahun 1976 menjadi Objek Wisata, yang dikelola oleh Minar Sihite (Op. Ridoi Tobing/br Sihite).
Minar Shite adalah seorang bidan yang pulang ke kampang halaman di Tarutung. Tanpa diduga ibu tersebut berjalan ke lokasi air soda yang ditumbuhi semak belukar dan menemukan air soda di daerah tersebut.
Suatu waktu dia pernah bermimpi didatangi oleh Sahala Oppung yang mengatakan bahwa dia diberikan wasiat untuk mengembangkan tempat itu. Dengan mempersiapkan tujuh pohul itak (lampet) dibungkus daun pisang sebagai persembahan untuk permisi kepada pengisi alam saat itu.
Dengan usaha sendiri kala itu jadilah suatu tempat pemandian air soda yang ramai didatangi oleh pengunjung dan masyarakat sekitar. Tempat ini pernah efektif digunakan beberapa ketika tanggal 29 April 1989 di timpa longsor. Tanpa ada campur tangan dari pemerintah setempat untuk memperbaiki kerusakan saat itu. Dan dengan usaha sendiri ibu minar membangun kembali tempat tersebut. Meski banyak tantangan serta larangan dari pemerintah setempat mau pun dari masyarakat sekitar yang mengklaim itu adalah milik dari pemerintah serta milik warisan dari marga-marga, ibu Minar boru Sihite tetap mempertahankan serta mengembangkan tempat ini menjadi objek wisata yang terkenal dari Tapanuli Utara sampai saat ini.
Gambar Kolam Air Soda Parbubu / Tarutung
Permandian Air Panas Sipaholon / Tarutung
Tarutung adalah ibu kota dari Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Banyak bukit-bukit yang mengelilingi kota ini sehingga membuat suhu di tempat ini tergolong dingin dan berkabut. Tarutung juga masih banyak menyimpan lokasi yang cocok dijadikan sebagai lokasi wisata tentunya, seperti pemandian Sipoholon ini tentunya.
Air panas Sipoholon adalah salah satu tempat wisata pemandian air panas yang terletak tidak jauh dari kota Tarutung tepatnya di kelurahan Situmeang Habinsaran kec.Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara. Menurut masyarakat setempat, Pemandian air panas ini merupakan lepasan dari Gunung Martimbang yang terletak tidak jauh dari lokasi wisata. Pemandian ini juga sudah menjadi ikon tersendiri bagi daerah Sipoholon.
Gambar Kolam Air Panas Sipaholon
Air panas ini memiliki dua mata air panas yang sama besar. Air panas yang meluap keluar dari dalam tanah menjadikan kita tertarik untuk melihatnya secara langsung tentunya. Untuk itu wisatawan akan bisa melihat lokasi-lokasi tempat keluarnya air panas tersebut.
Namanya air panas yang mengandung unsur belerang pasti memiliki manfaat, yaitu air panas ini dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit kulit. Lokasi tempat ini juga dijadikan masyarakat setempat sebagai tambang batu kapur dimana sebagai pencaharian tentunya.
Dolok Martimbang Tapanuli Utara / Tarutung
Gambar Gunung Dolok Martimbang
Martimbang adalah nama sebuah gunung didekat kota Tarutung, arah ke kota-pelabuhan Sibolga. Martimbang adalah gunung berapi non-aktif dan berskala Richter sedang jika menimbulkan gempa vulkanik, yaknii sekitar 4,5-5,5. Tercatat ia menimbulkan gempa kecil di tahun 2010 yang lalu, namun terasa juga sampai ke Medan. Tarutung akrab dengan gempa, walau tak pernah terdengar kerugian nyawa atau harta yang cukup berarti disana. Tak jelas apakah gempa yang sudah dikenal sejak dulu disana bersifat tektonik atau vulkanik. Karena Tapanuli bagian barat termasuk juga dengan jalur-gempa tektonik Aceh-Sumbar/ Mentawai. Pernah pada tahun 1987 Gempa yang cukup besar yang merobokan gedung pasar yang telah menjadi sopo parungkoan di ibukota Taput Ini. Cerita masyarakat pada saat gempa terjadi ada sekelompok orang yang naik ke puncak dolok martimbang dengan membawa Ban bekas untuk dibakar seakan akan dolok martimbang akan meletus dan masyarakat disekitar dolok (gunung) akan beperkian menyelamatkan diri masing-masing. Dan para orag yg tak dikenal tesebut akan turun ke bawah untuk mencuri harta benda masyarakat pada waktu itu. Tetapi ini tidak panjang pihak keamanan dapat menanganinya. Yang jelas, sejak sumber air-hangat bermunculan didaerah dataran tingginya (desa Hutabarat dan Sipoholon), goncangan suhul (gempa) semakin jarang terjadi. Mungkin sumber air hangat (aek rangat) itu ibarat anakan-anakan dolok Martimbang yang pecah yang meredakan ‘panas-dalam’ gunung yang berketinggian 1500 meter itu.
Artikel
Pendeta Samuel Munson dan Henry Lyman
Hari yang indah. Pada tanggal 9 Juli 1833, para
jemaat di Boston, Amerika Serikat, membuat perjamuan gereja. Dalam pesta
itu, semua perhatian orang tertuju pada dua pendeta muda, Samuel Munson
dan Henry Lyman. Esok, mereka akan berangkat membelah samudera menuju
sebuah negeri jauh yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tidak
ada jadwal pasti untuk kembali.
Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.
Negeri itu bernama Hindia Belanda, yang kelak akan menjadi tanah pekuburan mereka sendiri. Munson dan Lyman menumpang kapal bernama “Dunkan”, dengan sebuah acara pelepasan yang mengharukan dari anggota jemaat Gereja Boston. Keduanya melambai dan menatap para jemaat yang berbaris di bibir pelabuhan, hingga Benua Amerika lenyap sama sekali di belakang.
Setelah berlayar selama 105 hari, Munson dan Lyman
melihat sosok Pulau Jawa, dan kapal mereka merapat ke Batavia. Di kota
yang sedang berkembang ini, keduanya mendapat sambutan dari seorang
rohaniawan berkebangsaan Inggeris, Pendeta Madhurst. Untuk memudahkan
komunikasi selama dalam misi, kedua pendeta yang baru tiba itu segera
mempelajari bahasa Melayu sambil membuka praktik pengobatan. Memang,
selain dibekali pengetahuan teologia, mereka juga dibekali keterampilan
medis. Dari surat-surat yang mereka kirimkan ke Boston, diketahui bahwa
mereka sangat sibuk dengan para pasien yang datang tiap hari.
Setelah menguasai Bahasa Melayu, Munson dan Lyman
mulai mengurus izin pada pemerintah Belanda untuk keberangkatannya ke
Tanah Batak. Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda di Batavia
meluluskan permintaan mereka. Tanah Batak adalah impian Munson sejak ia
sekolah pendeta di negerinya. Ia mendapatkan literatur yang menceritakan
keindahan kawasan ini, berikut masyarakatnya yang masih menganut
kepercayaan kuno, sipelebegu (sejenis animisme).
Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Tepat pada hari Minggu, 6 April 1834, Pendeta Madhurst mengadakan perjamuan suci untuk keberangkatan kedua pendeta ini. Dua hari kemudian, Munson dan Lyman berangkat meninggalkan anak isteri mereka di Batavia dengan menumpang kapal besar “Mederika”. Mereka berada di antara para serdadu Belanda beserta tawanannya.
Keduanya kagum melihat keindahan Pulau Sumatera
yang terdiri dari pegunungan, lembah, dan hutan yang sangat luas. Tapi
pelayaran kali ini tidak terlalu ramah. Gelombang besar menghantam
lambung Mederika. Seisi kapal diaduk-aduk. Para penumpang terpental dan
kepanikan pun terjadi. Seorang tawanan Belanda menemui ajalnya setelah
terhempas pada tiang layar. Mayatnya kemudian dibuang ke laut.
Pada 19 April 1834, atau sebelas hari sejak
keberangkatan dari Jawa, mereka tiba di Bengkulu. Munson dan Lyman
tinggal di sini selama 4 hari. Lalu pada tanggal 26 April 1834, mereka
sudah menjejakkan kaki di Padang. Pendeta Ward menyambut keduanya.
Munson dan Lyman mendapat banyak informasi penting dari beliau, karena
Ward sudah pernah mengunjungi Tanah Batak pada tahun 1824. Menurut
Pendeta Ward, orang Batak adalah masyarakat yang ramah tamah. Pendeta
Ward juga menceritakan penyambutan raja-raja Batak terhadap dirinya yang
disertai tarian (tortor).
Akhirnya, pada 17 Juni 1834, Munson dan Lyman tiba
di Tanah Batak untuk pertamakalinya, yakni Sibolga. Tuan Bonnet,
seorang pejabat Belanda, menyambut mereka dengan hangat. Dia bahkan
memberikan perlengkapan untuk keberangkatan mereka selanjutnya ke arah
Silindung. Dalam perjalanan, Munson dan Lyman disertai seorang
penerjemah, tukang masak, polisi, dan 8 pendamping lain. Rombongan kecil
ini berangkat pada suatu sore yang teduh tanggal 23 Juni 1834, menembus
belantara, lembah, dan pegunungan yang bergelombang, selama 6 hari.
Kadang-kadang, mereka harus merangkak seperti ekspedisi kelompok pecinta
alam ketika melalui medan yang sangat sulit.
Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Rura Silindung yang mereka tuju adalah sebuah lembah yang datar dan indah di sebelah utara Tapanuli.
Dari puncak-puncak Bukit Barisan, panorama lembah
hijau ini mampu menggetarkan jiwa siapapun yang memandangnya. Kelak, di
salah satu puncak bukit pinus, pendeta sederhana asal Jerman yang sangat
dihormati orang Batak, Ingwer Ludwig Nommensen, memandang dataran itu,
lalu berlutut menatap langit seraya menyampaikan satu permohonan dengan
bibir yang gemetar. Doa itu sangat terkenal hingga hari ini. Tuhan,
hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa Batak untuk
menyebarkan firman dan kerajaan-Mu. Amin. Bukit itu kini dinamakan
Siatas Barita. Di puncaknya, pemerintah mendirikan satu tugu relijius
sebagai peringatan pada Pendeta Nommensen, yakni Salib Kasih.
Ketika sampai di kampung Raja Suasa, Pendeta
Munson dan Lyman menerima saran dari Raja Suasa agar mereka
menginformasikan lebih dulu kedatangannya di Silindung. Saat itu,
suasana di Rura Silindung (sekarang Kota Tarutung) memang masih diwarnai
kemelut akibat ekses dari Perang Bonjol. Namun Munson dan Lyman memilih
menghemat waktu agar segera tiba di Silindung. Tepat enam hari sejak
berangkat dari Sibolga, satu sore yang indah menyambut mereka di
pinggiran sebuah kampung. Munson mengutus penerjemah untuk mengetahui
keadaan di kampung tersebut sebelum memasukinya. Namun setelah beberapa
jam, si penerjemah tak kunjung kembali. Menimbang cerita Pendeta Ward,
kedua misionaris itu tidak curiga kalau-kalau sesuatu telah terjadi.
Dalam keadaan yang belum dapat memutuskan tindakan
selanjutnya, tiba-tiba semak belukar di sekitar mereka terkuak dan
berderak. Serombongan orang muncul dari balik pepohonan seraya
berteriak, “Mulak, mulak ma hamu!” (Pulang, pulanglah kalian!). Kedua
missionaris itu terkejut, dan pada saat yang sama mereka menyadari bahwa
para pengikut lain telah menghilang entah kemana, kecuali Jan.
Munson dan Lyman, dengan bahasa isyarat
sesanggupnya, berupaya menggambarkan maksud tulus kedatangan mereka ke
daerah itu. Tapi komunikasi tampaknya tidak nyambung, dan terjadilah
salah pengertian. Melihat gelagat yang makin buruk, tiba-tiba Jan
mengambil bedil yang dibawa Munson dari Padang, dan hendak
menembakkannya ke arah orang ramai itu. Tindakan itu dicegah Munson.
Tapi sayang, pada saat yang hampir bersamaan, terdengar letusan bedil
dari arah lain dan Pendeta Lyman roboh bercucuran darah.
Detik-detik berikutnya makin menegangkan dan
memperkecil peluang untuk saling pengertian. Munson yang malang masih
mencoba memberi isyarat dengan menunjukkan Alkitab yang dibawanya, tapi
suasana terlanjur panas dan chaos. Ia dipukuli hingga jatuh tanpa
melawan maupun menunjukkan rasa takut. Jan melarikan diri dan
bersembunyi di kerapatan hutan. Ia berhasil lolos dan kembali ke Sibolga
dalam keadaan payah, lalu menemui Tuan Bonnet. Informasi tentang
insiden tersebut digambarkan oleh Jan.
Dari versi masyarakat Batak sendiri, kelompok yang
terlibat dalam penyergapan di Puncak Lobu Sisakkap, Desa Dolok Nauli,
Adiankoting, tersebut adalah Raja Panggalamei Lumbantobing dan
pengikutnya. Raja Panggalamei digambarkan sebagai seorang laki-laki
perkasa dengan tinggi badan lebih dari 2 meter. Tenaganya luar biasa
hingga dapat melemparkan tanah dengan cangkul sejauh 3 sampai 8 km. Saat
itu, sebagai penjaga wilayah, Raja Panggalamei mendapat informasi bahwa
orang Belanda (si bontar mata) sedang menuju Tanah Batak dengan tujuan
memulai penjajahan. Raja-raja turunan Siopat Pisoran lantas berembuk dan
membuat kesepakatan untuk memanfaatkan kekuatan Raja Panggalamei untuk
menjaga Puncak Lobu Sisakkap sebagai perbatasan dan pintu masuk dari
selatan menuju Rura Silindung.
Keturunan Raja Siopat Pisoran adalah penghuni
terbesar kawasan Rura Silindung. Ketika Munson dan Lyman tiba di Puncak
Lobu Sisakkap, Raja Panggalamei dan pengikutnya langsung menduga bahwa
mereka adalah bagian dari rencana awal Pemerintah Belanda yang ingin
menguasai Tanah Batak. Setelah penangkapan, terjadilah komunikasi yang
tidak saling memahami.
Konon, Raja Panggalamei yang bertanya dengan nada
dan ungkapan-ungkapan yang keras khas Batak, telah membuat penerjemah
Munson ketakutan dan lari terbirit-birit. Karena tak memiliki penerjemah
lagi, Munson mencoba menenangkan suasana dengan isyarat. Ia menyerahkan
sepucuk senjata api yang dibelinya dari salah satu toko di Padang
dengan maksud memberikan pesan damai. Tapi makna isyarat itu gagal
ditangkap oleh Raja Panggalamei, dan ia malah menduga si bontar mata (si
mata putih) itu mau menembak dirinya, sehingga ia cepat-cepat angkat
pedang dan mengayunkannya pada dua orang berkulit putih itu.
Kedua versi tersebut tentu saja masih membutuhkan
penelitian yang lebih rinci agar Sejarah Batak dapat didudukkan pada
porsi yang sebenarnya. Bonnet sendiri, seusai menerima kisah Jan,
menyimpulkan bahwa Munson dan Lyman telah mati martyr saat menjalankan
misi suci di Lobu Pining Adiankoting. Bagi orang Batak Kristen masa
kini, kematian mereka adalah pengorbanan besar dalam misi keagamaan
terhadap Tanah Batak yang masyarakatnya saat itu masih menganut
sipelebegu. Masyarakat Batak Kristen mengenangnya sebagai pendeta yang
berjasa pada misi kekristenan di Tapanuli. Sebuah monumen kini dibangun
di tengah perladangan yang sepi di Lobu Pining, Kecamatan Adiankoting,
di mana tulang belulang mereka dikebumikan. Monumen itu sekitar 20 km
dari Kota Tarutung ke arah Sibolga.
Samuel Munson lahir tanggal 23 Maret 1804 di New
Sharser Maine, sedang Henry Lyman lahir tanggal 23 November 1809 di
Northhampton, Amerika Serikat. Dari catatan sejarah, kedua missionaris
ini berbeda karakter dan intelijensi sejak masa kecilnya. Munson adalah
seorang anak yang pintar dan cerdas, sementara Lyman seorang anak yang
sampai masa remajanya menunjukkan sikap yang sangat anti terhadap
keagamaan walaupun pada akhirnya masuk ke sekolah pendeta dan bertemu
dengan Samuel Munson. Setelah tamat dari sekolah pendeta di Androver
tahun 1832 dan menikah pada tahun 1833, mereka dipersiapkan sebagai
missionaris menyebarkan berita Injil ke Tanah Batak.